HIPERSENSITIVITAS
DEFENISI
Hipersensitivitas adalah suatu reaksi respon imun yang menyebabkan
kerusakan sel dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Antigen yang dapat
memprovokasi respon hipersensitif pada seseorang disebut alergen. (Kamus
Dorland, 2006). Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi bila jumlah
antigen yang masuk relatif banyak atau bila status imunologis seseorang,
baik seluler maupun humoral meningkat. Reaksi ini tidak pernah timbul
pada pajanan pertama. Reaksi hipersensitivitas menimbulkan manifestasi
klinik dan patologik yang heterogen di mana hal tersebut ditentukan oleh
(1) jenis respon imun yang menyebabkan kerusakan jaringan dan (2) sifat
serta lokasi antigen yang menginduksi atau yang menjadi sasaran dari
respon imun. Hipersensitivitas terbagi dalam 4 kategori, yaitu reaksi
hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV. Klasifikasi tersebut
didasarkan pada mekanisme patologis utama yang bertanggung jawab atas
kerusakan sel atau jaringan. (Guntur, 2007)
KLASIFIKASI
- Hipersensitivitas Tipe IHipersensitivitas tipe I
ditandai dengan reaksi alergi yang terjadi segera (15-30 menit) setelah
kontak dengan antigen (alergen). Terjadinya reaksi alergi diawali oleh
kontak suatu alergen yang diikuti oleh sederetan peristiwa kompleks yang
menghasilkan IgE. Respon IgE merupakan respon lokal yang terjadi pada
tempat masuknya alergen ke dalam tubuh. Produksi IgE oleh sel B
tergantung pada penyajian antigen oleh APC (Antigen Presenting Cell) dan
kerjasama antara sel B dengan sel T helper-2 (Th-2). Reaksi
hipersensitivitas tipe I terjadi dalam 3 fase berurutan, yaitu fase
sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor (memunculkan respon).
(Lauralee Sherwood, 2001)
Mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I
dimulai dengan masuknya alergen ke dalam tubuh melalui membran mukosa
yang diproses dan dipresentasikan oleh APC pada sel T-helper. Sel Th-2
mensekresi sitokin yang menginduksi proliferasi sel B dan menghasilkan
respon IgE spesifik. IgE, melalui reseptor FCεR1, berikatan dan
mensensitisasi sel mast. Bila akhirnya alergen bertemu dengan sel mast,
alergen akan (1) membuat ikatan silang antar-IgE pada permukaan sel
mast, (2) menimbulkan influks ion kalsium ke intraseluler yang mampu
memicu degranulasi sel mast dan pelepasan mediator, seperti histamin dan
golongan protease, serta (3) menginduksi pembentukan dan pelepasan
mediator dari asam arakhidonat, seperti golongan leukotrien dan
prostaglandin. Mediator-mediator inilah yang akan menimbulkan gejala
klinis alergi. Sitokin yang juga dilepaskan pada saat degranulasi sel
mast akan memperberat respon radang dan IgE yang terjadi. (Ivan M.
Roitt, 1985)
Reaksi hipersensitivitas tipe I dapat melibatkan reaksi
pada kulit (urtikaria, ekzem), pada mata (konjungtivitas), nasofaring
(rinitis, rinorea), bronkopulmonari (asma), dan saluran pencernakan
(gastroenteritis). (Darmono, 2007)
- Hipersensitivitas Tipe IIReaksi
hipersensitivitas tipe II dimediasi oleh antibodi IgG dan IgM yang
berikatan pada sel atau jaringan tertentu. Pada tipe ini, antibodi yang
diarahkan pada antigen permukaan sel atau jaringan berinteraksi dengan
komplemen dan berbagai sel efektor untuk menimbulkan kerusakan sel
sasaran. Setelah melekat pada permukaan sel atau jaringan, antibodi akan
mengaktifkan komponen komplemen C1. Akibat dari aktivasi ini adalah
sebagai berikut :
1) Fragmen-fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang
dihasilkan oleh aktivasi komplemen akan menarik makrofag dan sel
polimorfonuklear ke lokasi reaksi dan merangsang sel mast/basofil untuk
menghasilkan molekul yang menarik dan mengaktifkan sel efektor lain.
2) Jalur komplemen klasik dan lengkung aktivasi mengakibatkan pengendapan C3b, C3bi, dan C3d pada membran sel sasaran.
3)
Jalur komplemen klasik dan jalur litik memproduksi kompleks serangan
membran C5b-9 dan menyelipkan kompleks tersebut ke dalam membran sel
sasaran. (Wahab, 2002)
Beberapa contoh tentang reaksi tipe II ini
ditemukan pada reaksi terhadap eritrosit, di antaranya tranfusi darah
yang incompatible, penyakit hemolitik pada bayi yang baru lahir (HDNB),
dan anemia hemolitik autoimun. Reaksi terhadap trombosit dapat
menimbulkan trombositopenia, sedangkan reaksi terhadap neutrofil dan
limfosit diduga mengakibatkan lupus eritematosus sistemik (SLE).
(Baratawidjaja, 2006)
- Hipersensitivitas Tipe III
Hipersensitivitas
tipe III ini diperantarai oleh adanya kompleks imun. Kompleks imun
berinteraksi dengan sistem komplemen untuk menghasilkan C3a dan C5a
(anafilatoksin). Fragmen komplemen ini menstimulasi pelepasan amin
vasoaktif, seperti histamin dan 5-hidroksi triptamin, serta
faktor-faktor kemotaktik dari sel mast dan basofil. Amin vasoaktif yang
dilepaskan oleh trombosit, basofil, dan sel mast mengakibatkan retraksi
sel endotel sehingga meningkatkan permeabilitas vaskular dan
memungkinkan pengendapan kompleks imun pada dinding pembuluh darah yang
kemudian membentuk C3a dan C5a. Trombosit juga beragregasi pada kolagen
membran basalis pembuluh darah yang terpajan serta berinteraksi dengan
daerah Fc kompleks imun. Trombosit yang teragregasi terus menghasilkan
amin vasoaktif dan merangsang produksi C3a dan C5a. (Jan Koolman, 2001)
Leukosit
polimorfonuklear secara kemotaktik ditarik ke tempat terjadinya
pengendapan oleh C5a. Sel-sel tersebut berupaya memfagosit endapan
kompleks imun, tetapi tidak mampu karena kompleks melekat pada dinding
pembuluh darah. Oleh karena itu, leukosit polimorfonuklear kemudian
mengeksositosis enzim lisosomnya pada tempat endapan. Jika enzim lisosom
ini dilepaskan ke dalam darah atau cairam jaringan, maka tidak akan
timbul radang yang luas karena enzim ini dengan cepat akan dinetralisasi
oleh suatu inhibitor enzim serum. Akan tetapi, jika fagosit, melalui
ikatan Fc, berada sangat dekat dengan kompleks yang terperangkap
jaringan, maka inhibitor serum tidak akan berfungsi sehingga enzim dapat
merusak jaringan tempat endapan kompleks imun. (Joseph A. Bellanti,
1993)
Penyakit akibat pembentukan kompleks imun dapat dibagi secara
kasar menjadi 3 kelompok, yaitu (1) yang disebabkan oleh infeksi yang
menetap (lepra, malaria, DHF, hepatitis B, dan endokarditis enfektif
stafilokokus), (2) disebabkan oleh penyakit autoimun (arthritis
rheumatoid, SLE, dan polimiositis), dan (3) yang disebabkan oleh
inhalasi bahan antigenik (penyakit farmer’s lung, pigeon fancier’s
lung). (Sumardiono, 2005)
-Hipersensitivitas Tipe IVReaksi
hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat) melibatkan beberapa jenis
patogenesis atau banyak sistem imun dan penyakit infeksius
(tuberkulosis, blastomikosis, histoplasmosis, toksoplasmosis,
leishmaniasis) serta granulomatosus yang disebabkan oleh infeksi antigen
asing. Bentuk lain dari hipersensitivitas tipe ini adalah karena kontak
dermatitis (racun kontak, bahan kimia, logam toksik) di mana lesi
berbentuk papula (tonjolan kulit).
Secara umum, mekanisme kerusakan
dari hipersensitivitas tipe ini melibatkan sel T limfosit, makrofag,
dan/atau monosit. Sel T cytotoxic (Tc) menyebabkan kerusakan secara
langsung. Pasca masuknya antigen, sel Th mengekskresikan sitokin dan
mengaktifkan sel Tc serta merekrut dan mengaktifkan monosit dan makrofag
yang menyebabkan kerusakan. Ada 3 varian dari reaksi hipersensitivitas
tipe IV, yaitu (1) hipersensitivitas kontak di mana sel langerhans
merupakan APC utama, (2) hipersensitivitas tipe tuberkulin (makrofag
merupakan APC utama), dan (3) hipersensitivitas granulomatosa yang
terjadi karena makrofag tidak mampu menyingkirkan mikroorganisme atau
partikel yang ada di dalamnya. (Abbas, 2000)
MANIFESTASI KLINIS
1.DEMAM
2/ASMA
3.MATA MERAH
4.KONGESTI NASAL
5.GATAL
6.SULIT BERNAFAS
7.DISTRESS SALURAN GASTRO INTESTINAL
8.KRAM BERLEBIHAN
PEMERIKSAAN
- TES KULIT
- INTRADERMAL(tidak dianjurkan)
- RAST(RADIOALERGOSORBEN TEST)
- DOUBLE BLIND PLACEBO-CONTROLLLED FOOD CHALANGED(GOLD STANDAR)
TERAPI
- Menghindari makanan penyebab
- Anti histamin
- Kortikosteroid
- Epinefrin
- Adrenalin
- Oral food challenge
0 komentar